BRIN : Pelestarian Mangrove Terkendala Kebijakan dan Hak Kepemilikan Lahan
Upaya pelestarian hutan mangrove di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir utara Pulau Jawa, menghadapi berbagai masalah hukum yang signifikan. Peneliti dari Pusat Riset Hukum (PRH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laely Nurhidayah, mengungkapkan bahwa permasalahan ini terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah, aspek tanah atau lahan baru, dan peruntukan lahan. Salah satu kebijakan yang dapat menimbulkan risiko adalah Giant Seawork Initiative yang direncanakan pemerintah untuk tahun mendatang, yang bisa berdampak pada kerusakan hutan mangrove yang saat ini ditanam.
Laely menjelaskan bahwa kenaikan permukaan air laut menjadi masalah utama di wilayah pesisir Pulau Jawa, termasuk Jakarta, Semarang, Brebes, Pekalongan, dan Demak. Hal ini disebabkan oleh deforestasi mangrove di masa lalu untuk budidaya perikanan dan kayu bakar, serta perubahan iklim dan bencana permukaan laut yang memperburuk situasi. Akibatnya, daerah-daerah tersebut sering mengalami bencana rob, yang tidak lagi sekadar banjir tahunan melainkan banjir yang berlangsung sepanjang hari.
Dampak paling parah dari bencana ini terlihat pada desa-desa seperti Dukuh yang terendam air laut dan harus melakukan migrasi karena tidak lagi dapat dihuni. Kondisi serupa terjadi di Bedono, desa Rejosari di Kabupaten Semarang, serta beberapa desa di Pekalongan. Abrasi parah diprediksi akan menghilangkan desa-desa ini menjelang tahun 2035, mengubahnya menjadi perairan.
Dalam menghadapi masalah ini, Laely menekankan pentingnya restorasi ekosistem mangrove melalui berbagai kegiatan seperti rehabilitasi, restorasi, suksesi alami, perlindungan habitat mangrove, serta penerapan metode yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sinergi antara kebijakan pusat, daerah, dan masyarakat sangat penting dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Peneliti Pusat Riset Hukum, Ade Angelia Y Marbun, menambahkan bahwa aspek hukum memegang peran krusial dalam restorasi lahan mangrove. Aspek hukum diperlukan untuk menetapkan lokasi secara sah sebagai kawasan mangrove atau ruang terbuka hijau berdasarkan rencana tata ruang, yang bertujuan mencegah alih fungsi lahan. Idealnya, lokasi restorasi mangrove harus dimiliki oleh instansi pemerintah dan dapat dikembangkan menjadi lokasi wisata alam.
Peran komunitas, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat, serta kontribusi perempuan dalam konservasi mangrove juga sangat penting. Perempuan, sebagai aktor dan pelindung pelestarian, memainkan peran strategis dalam usaha ini.
Amelia Wulansari, Direktur Eksekutif Bina Karta Lestari (BINTARI), menanggapi tantangan ini dengan mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk restorasi mangrove bersama masyarakat. Amelia memetakan wilayah yang secara ekologis mendukung pertumbuhan tanaman mangrove dan mengkaji status lahan, mengingat sebagian besar lahan mangrove telah menjadi Hak Guna Pakai (HGP) oleh pihak swasta. Ia menekankan perlunya edukasi kepada masyarakat mengenai restorasi mangrove dan memastikan bahwa lokasi tersebut aman dan layak untuk restorasi.
Secara keseluruhan, pelestarian hutan mangrove memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak dan mempertimbangkan aspek hukum, ekologis, sosial, dan operasional untuk mencapai hasil yang berkelanjutan.
Klinge CM, Bodenner DL, Desai D, Niles RM, Traish AM can i get generic cytotec pills These results indicate the stage at which each progenitor population is restricted to a particular fate and provide markers for isolating progenitors to study their growth, differentiation, and the genes necessary for their development