Sejarah dan Makna Bubur Asyura dalam Peringatan 10 Muharam
Pada peringatan 10 Muharam 1446 Hijriah atau 2024 Masehi, sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia biasanya membuat Bubur Asyura. Bubur ini biasanya dimasak dalam jumlah besar dan kemudian dibagikan kepada warga sekitar.
Tapi, bagaimana sebenarnya asal-usul Bubur Asyura? Menurut laman warisanbudaya.kemendikbud.go.id, bubur Asyura, atau Asyuro, adalah bubur yang terbuat dari nasi yang dicampur dengan berbagai jenis kacang-kacangan dan bahan lainnya.
Tradisi sedekah Bubur Asyura bermula pada masa Kesultanan Siak ke-11 dan berlanjut pada masa Sultan Siak ke-12. Namun, kegiatan ini mulai menghilang pada tahun 80-an seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, para sultan pada bulan Muharam biasanya melakukan puasa sunnah dan berbuka dengan hidangan Bubur Asyura. Dahulu, Bubur Asyura dibuat pada petang hari untuk berbuka puasa sunnah 10 Muharam, dan setelah itu, acara sedekah pun dilaksanakan.
Di Siak, pernah diadakan acara memasak Bubur Asyura bersama guru dan masyarakat di sepanjang pinggir jalan hingga depan Istana Siak, dengan porsi lebih dari 1000, yang berhasil mencatatkan rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI).
Tradisi ini masih dilanjutkan hingga kini dengan mengadakan acara sedekah Asyura di Istana Siak setiap tanggal 10 Muharam. Untuk Bubur Asyura khas Aceh, terdapat sekitar 41 jenis bahan dan rempah yang digunakan, termasuk sayuran, beras, jagung, kacang hijau, kacang kedelai, kacang tolo, ketela pohon, kacang tanah, pisang, dan ubi jalar, serta bumbu seperti gulai, daun pandan, serai, kayu manis, dan garam. Pembuatannya memerlukan waktu lebih dari tiga jam sebelum disajikan kepada masyarakat.
Tradisi memasak Bubur Asyura pada tanggal 10 Muharam ini memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat dan rezeki, serta menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi antar warga dan menumbuhkan jiwa sosial.