Tekanan Ekonomi Menggigit, Kelas Menengah Indonesia Alami Penurunan Kelas

Febi Nugraha
Febi Nugraha - content writter
3 Min Read

Tekanan Ekonomi Menggigit, Kelas Menengah Indonesia Alami Penurunan Kelas

Kehidupan kelas menengah di Indonesia semakin menghadapi tantangan berat. Bagi mereka yang bekerja dalam sektor formal, gaji bulanan seringkali hanya cukup untuk membeli makanan, sementara daya beli mereka terus tertekan. Akibatnya, banyak yang mengalami penurunan status sosial atau ekonomi.

Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, mengungkapkan bahwa kondisi ini tercermin dalam data Mandiri Spending Index (MSI). Data tersebut menunjukkan bahwa porsi pengeluaran untuk bahan makanan atau groceries meningkat signifikan, dari 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran.

Chatib Basri menjelaskan, “Hukum Engel mengajarkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya.” Dalam konteks ini, ketika pendapatan masyarakat menurun, mereka cenderung mempertahankan pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan, sehingga porsi konsumsi makanan dalam total belanja mereka meningkat. “Ini mencerminkan menurunnya daya beli masyarakat,” jelasnya.

Fenomena ini juga terlihat dari munculnya istilah “mantab” (makan tabungan) di kalangan kelompok menengah bawah. Penurunan penjualan mobil baru, sementara penjualan motor meningkat, menandakan bahwa banyak orang beralih dari membeli mobil baru ke mobil bekas atau bahkan sepeda motor. “Data ini menunjukkan bahwa daya beli kelas menengah bawah memang tergerus,” kata Chatib.

Penurunan daya beli ini tidak hanya dipicu oleh pandemi COVID-19, tetapi sudah berlangsung sejak 2019. Menurut data Bank Dunia, kelas menengah Indonesia berkurang dari 23% pada 2018 menjadi 21% pada 2019. Sementara itu, kelompok aspiring middle class (AMC) meningkat dari 47% menjadi 48%. “Kecenderungan ini terus berlanjut. Pada 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, dan kelompok rentan meningkat menjadi 23%,” ungkap Chatib.

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masih dianggap sebagai kelas menengah. Sementara AMC adalah kelompok dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan (Rp 825.000-Rp 1,9 juta), dan kelompok rentan miskin mengeluarkan 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan (Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan).

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, menyoroti dampak dari menurunnya daya beli kelas menengah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Pertumbuhan ekonomi kita stagnan di level 5% karena kelas menengah, yang seharusnya menjadi motor penggerak, mengalami penurunan konsumsi,” kata Telisa dalam program Power Lunch CNBC Indonesia.

Telisa menambahkan, “Kelas menengah adalah sekitar 50% dari populasi, dan penurunan daya beli mereka mempengaruhi perekonomian domestik. Mereka adalah konsumen utama dalam sektor makanan dan minuman serta industri domestik lainnya.”

Telisa juga menekankan bahwa data saat ini menunjukkan bahwa daya beli kelas menengah perlu segera mendapat perhatian khusus. Selama ini, kelompok ini seringkali tidak mendapat porsi yang memadai dalam program bantuan sosial pemerintah, dan angka inflasi yang terus meningkat semakin menekan penghasilan mereka. “Daya beli kelas menengah sangat urgen untuk diselamatkan karena mereka berperan penting dalam konsumsi dan pertumbuhan ekonomi domestik,” pungkasnya.

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *